Thursday, December 6, 2007

Awan Sedikit Mendung

Awan berarak mendung takkala sepasang kaki kecil berlari-lari anak di atas jalan raya menyeberangi jalan kawasan perkampungan Beranang. T-shirt hijaunya yang besar berbanding saiz tubuhnya yang kecil melambai-lambai ditiup angin. Di tangan kanannya tergenggam sebatang ais-krim kampung buatan ibunya sambil sesekali disuakan ke mulut dan tangan kirinya mencengkam ikatan tali pinggang seluar ayahnya. Jiha dan ayahnya kini memasuki kawasan tanah perkuburan Islam Beranang. Mereka berjalan menyelusuri denai yang terhasil dari kunjungan waris penghuni kawasan itu dan sebentar kemudian berhenti di tepi sebuah makan yang terpelihara dengan rapi. Tertera tulisan Jawi "Hj. Abdullah Binti Aminah 19.10.1915 – 20.01.1965" .

"Sayang, inilah kubur atuk sayang. Mari kita berdoa moga tenang rohnya". Terang si ayah dengan lembut. Jiha memandang wajah ayahnya lalu meniru perbuatannya yang menadah tangan ke atas dan turut ikut memejamkam mata seperti ayahnya itu. Kedengaran sayup-sayup surah Al-Fatehah di bacakan dengan lembut si ayah disusuli dengan bacaan doa.

"Ayah, atuk waktu meninggal dulu umur dia 50 tahun ya yah". Ayahnya tersenyum lantas menganggukkan kepala mengiakan pertanyaan anaknya itu. Matanya kembali menatap ukiran tulisan Jawi pada batu nisan kubur ayahnya itu.
"Hmm, bererti sudah 42 tahun ya ayah". Jiha meneruskan bicara sambil matanya menerawang dan jarinya ligat menghitung.
"Ya, sudah 42 tahun atuk bersemadi di sini sayang". Jawab ayahnya dengan kasih. Jiha memalingkan kepala, memandang sekeliling kawasan perkuburan itu. Di sebelah makan datuknya itu terdapat sebuah kubur tua yang berlumut nisannya tertera
"Muhammad Amin 19.02.1882-30. 01.1910"
"Hmm..kalau yang itu dah meninggal 106 tahun kan yah", jarinya dihalakan ke arah batu nisan kubur tersebut. Sekali lagi ayahnya mengganggukkan kepala. Tangannya lantas mengusap kepala anak tunggalnya itu.
"Iya, tapi kenapa sayang?" kata sang ayah menatap lembut mata anaknya.
"Kan ayah juga yang cakap semalam, kalau kita mati, setelah dikuburkan, jika banyak berdoa ketika hidup, pasti akan disiksa. Betul kan ayah?" kata si Jiha meminta persetujuan ayahnya.
Ayahnya kembali tersenyum. "Betul, tapi kenapa sayang ayah cakap macam tu?" Tanya ayahnya kembali. "Bukan apa, Jiha terfikir kalau atuk banyak dosanya, bererti sudah 42 tahun roh atuk disiksa di kubur. Tapi kalau atuk banyak melakukan kebaikan, beribadat dan banyak pahalanya, bererti sudah 42 tahun roh atuk tenang bersemadi. Betul tak ayah?". Matanya bersinar setelah meluahkan pendapat pada ayahnya. Ayahnya tersenyum, namun sekilas keningnya berkerut, kelihatan rona- rona sedikit cemas pada wajahnya. "Iya sayang, pandai anak ayah ni," kata ayahnya pendek.

Sekembalinya mereka dari tanah perkuburan tadi, si ayah nampak gelisah. Di atas sejadahnya, fikirannya jauh menerawang tentang apa yang diperkatakan oleh anaknya tadi… "42 tahun hingga sekarang….kalau kiamat menjelma 100 tahun lagi….bermakna 142 tahun disiksa…atau sebaliknya, bahagia di kubur….." lalu ia menunduk seraya air matanya menitis perlahan.
"Kalau aku mati, membawa banyak himpunan dosa, dan jika kiamat pula datang 1000 tahun lagi, bererti aku akan disiksa 1000 tahun di kubur?"

Astaghfirullahal azim….. Air matanya semakin banyak merembes.

"Sanggupkah aku disiksa selama itu? Itupun jikalau kiamat 1000 tahun lagi, kalau 2000 tahun lagi? 3000 tahun lagi? Selama itulah aku akan disiksa di kubur?. Itu baru siksaan kubur, belum lagi siksaan hari kiamat. Bukankah lebih parah lagi? Tahankah aku? Baru melihat di kaca tv tahanan penjara Guantanamao disiksa pun aku sudah tidak tahan. Dan ketika melihat mangsa kemalangan ngeri pun aku tidak larat, bagaimana pula aku akan tahan dengan siksa Allah? Ya Allah…."

Ia semakin menunduk, tangannya menadah keatas, dadanya turun naik, air mata semakin banyak membanjiri pipinya. Ia berdoa agar diampunkan dosa-dosanya, dijauhkan dari siksa kubur dan minta dicabutkan nyawanya dalam iman dan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa.

Munajatnya terhenti sejenak takkala mendengar batuk kecil Jiha. Dihampiri tubuh kecil Jiha yang tertidur di atas hamparan tikar mengkuang bilik solat itu. Diselimutkan tubuh anaknya itu. Jiha terus tertidur dengan nyenyak. Betapa si ayah sangat berterima kasih padanya setelah menyedarkannya erti sebuah kehidupan dan apa yang akan berlaku pada masa akan datang. Dirinya hampir leka dengan nikmat dunia yang telah dikurniakan.

"Ya Allah, letakkanlah dunia di tanganku, jangan Kau letakkannya di hatiku…"



6 Disember 2007

No comments: